Minggu, 29 September 2013

Sastra Sebagai Medium Terapi Kesehatan.



Sebagai sebuah pengantar dari sebuah tulisan tentunya untuk memulai tulisan ini penulis ceritakan sekilas perihal sastra sebagai pengantar dan media untuk membaur diri dengan masyarakat, dimana perbincangan masyarakat mengenai sastra saat ini hampir seluruhnya menyatakan bahwa sastra hanya sebagai sesuatu yang sakral dan hanya berdiam diri pada posisi dirinya sebagai sesuatu yang pasif. Namun hal ini akan segera penulis jungkir balikkan menjadi jelas bahwa kehidupan sastra yang benar adalah menjadikan ia tidak sebagai sesuatu yang pasif. Sepintas lalu penulis sempat berbincang mengenai sastra sebagai obat kesehatan dengan Mas Deni Puja Panata. Dimana pegolakan sejarah peradaban sastra hari ini seperti memulai hari dengan penuh perjuangan. Yakni khazanah kesusastraan Indonesia lebih-lebih khazanah berkesenian di dunia pesantren sudah menunjukkan taringnya bahwa sastra semata-mata sebagai mediator untuk menjadikan manusia lebih dewasa. Sudah saatnya sastra pesantren tentunya juga proses berkesenian di Indonesia untuk melaju kencang demi masa depan pesantren secara khusus dan Indonesia secara umum. Suatu hal yang tidak dapat di tawar dari kehidupan berkesenian Indonesia saat ini, ia adalah konsistensi antara penulis dengan pembaca benar-benar terlibat aktif.
Bukan sekedar wacana kosong ketika manusia di hadapkan pada suasana bathin yang menggelisahkan, mereka seperti berlari mengejar seluruh yang luruh untuk menempuh kehidupan yang di impikan. Hal ini jelas sekali ketika manusia seolah hidup tanpa bayangan dan patokan. Pastilah sastra sebagai ujung tombak untuk di jadikan media berkelanjutan demi ketenteraman dan kenyamanan diri.
Banyak kalangan yang mudah terpeleset pada anggapan dan meragukan akan sastra, dimana sastra hanya di yakini sebagai sesuatu yang secara nyata membungkam diri dari kenyataan. Artinya selama ini sastra tidak memberikan sumbangsih apa-apa pada kehidupan. Padahal kalau kita mau menyadari, sebenarnya sastra akan membawa kita kepada sebuah kebenaran yang melampaui batas.
Ilmu humaniora bukan saja bergelut pada dunia dirinya saja, tetapi ia sebagai  ilmu terapan di tuntut mampu untuk menjawab segala lini persoalan zaman yang semakin menbisu sekaligus membius diri menjadi yang tak berarti. Kehidupan yang di motori kapitalis, libealis, dan kontradiktif selalu di benturkan pada kehidupan ruh manusia sebagai makhluk dinamis. Maka, sudah saatnya sastra memposisikan diri sebagai mediator utama untuk meberikan klarifikasi terhadap pandangan miring(sift paradigm).
Anggapan tidak sehat yang semacam ini akan membawa dampak kepada khazanah keber susastraan Indonesia mutakhir ini. Dimana setiap jejak langkah kehidupan berbangsa dan bernegara akan memulainya dengan metodologi perenungan. Tetapi bukan berarti merenung adalah bermimpi tanpa ada hasil yang akan di peroleh. Haruslah kiranya untuk di percayai sastra akan benar-benar menjadi obat terapi bagi siapapun yang ragu dengan substansi dan ke antikan dari sebuah karya sastra.
Pada ranah yang lebih luas lagi, kehidupan para ilmuan, sastrawan, teatrikawan dan orang-orang yang di anggap mempunyai taring di lingkungan sekitarnya. Bila di tilik kembali pada sejarah asal muasal dan latar belakang mereka. Akan menemukan kepastian ketika di Tanya mestilah mereka akan segera menjawab bahwa ia menyukai karya sastra.
Karya sastra sirat dengan dialek pengucap khasnya, bebas dari bentuk-bentuk diskriminasi dan perpeloncoan. Karya ini cenderung membawa pembacanya kepada dunia imajinasi dimana ia lahir dan di besarkan dari sebuah proses perenungan lebih jauh. Inilah hal tersulit(penulis katakan) bagi penulis yang mencoba mengupas hal semacam ini kaitannya dengan dunia imajinasi dan dunia puisi. Kalau boleh jujur, penulis akan mengatakan bahwa -saya yang saat ini berposisi sebagai penulis- menulis sejatinya adalah mengekspresikan diri dari sebuah kegelisahan dan pergulatan bathin seorang penulis.
Adalah tugas dan tanggung jawab kita sebagai mahasiswa, hari ini di tuntut untuk resmi dan benar-benar wajib bagaimana kemudian mengembangkan khazanah sastra pesantren lebih-lebih khazanah sastra Indonesia mutakhir. Mengenang istilah penyair, sastrawan dan penggiat seni adalah hal yang musti untuk kita apresiasi bersama. Bangkitnya kehidupan sastra pesantren tidak akan pernah lepas dari peran dan partisipasi rakyat sebagai bagian dari berkesenian. Hal serupa mengenai dunia pesantren dan sastra sebagai kebudayaan kekayaan masa depan adalah hal pasti yang tak pernah lepas dari peran serta masyarakat. Maka dari ini jelas bahwa masyarakat perlu kiranya untuk di libatkan dalam sebuah pergulatan kesenian dan kesusastraan baik sastra pesantren maupun sastra Indonesia secara umum.
Relevansi dan konsistensi antara si pengarang dalam hal ini penyair dengan pembaca sebagai sesuatu yang perlu untuk di jadikan bahan perbincangan dan diskusi bersama kaitannya dengan perkembangan dan kemajuan sastra pesantren maupun non pesantren. Perlu sedikit di katakan, saat ini dunia dan sastra pesantren hampir bisa di pastikan sebagai tolak ukur khazanah pergulatan seni dan sastra tanah air. Taruhlah contoh dalam hal ini adalah An-nuqayah sebagai lembaga pendidikan alternative. Pesantren sering terlibat dalam forum-forum dan pertemuan nasional. Hal ini akan segera menjadi tanda dan bukti bahwa pesantren mempunyai peran signifikan terhadap perkembangan sastra Indonesia.
Sebagai orang yang pernah hidup di dunia pesantren dan mengalami hidup pahit-manis penuh perjuangan. Barangkali menjadi wajar ketika pembaca di hadapkan pada tulisan amburadul tetapi yang jelas ini semua mempunyai maksud dan tujuan masing-masing. Harapan murni dari penulis adalah kritik konstruktif demi kedewasaan dan masa depan penulis sebagai pemula menceburkan diri di dunia jurnalis. Kembali pada awal dan asal muasal dari tulisan ini adalah menggerutui tentang pergulatan sastra sebagai medium kesehatan adalah hal pasti yang semestinya di perjuangkan demi cerahnya masa depan khazanah dan kebudayaan sastra pesantren lebih-lebih pergolakan sastra Indonesia secara umum. Ini yang perlu untuk kita beri dukungan penuh agar kegiatan berkesenian tidak hanya berjalan di tempat. Selamat mengkritisi!.
Bangkalan, 09 september 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar