Sebagai sebuah
pengantar dari sebuah tulisan tentunya untuk memulai tulisan ini penulis
ceritakan sekilas perihal sastra sebagai pengantar dan media untuk membaur diri
dengan masyarakat, dimana perbincangan masyarakat mengenai sastra saat ini
hampir seluruhnya menyatakan bahwa sastra hanya sebagai sesuatu yang sakral dan
hanya berdiam diri pada posisi dirinya sebagai sesuatu yang pasif. Namun hal
ini akan segera penulis jungkir balikkan menjadi jelas bahwa kehidupan sastra
yang benar adalah menjadikan ia tidak sebagai sesuatu yang pasif. Sepintas lalu
penulis sempat berbincang mengenai sastra sebagai obat kesehatan dengan Mas Deni
Puja Panata. Dimana pegolakan sejarah peradaban sastra hari ini seperti
memulai hari dengan penuh perjuangan. Yakni khazanah kesusastraan Indonesia
lebih-lebih khazanah berkesenian di dunia pesantren sudah menunjukkan taringnya
bahwa sastra semata-mata sebagai mediator untuk menjadikan manusia lebih
dewasa. Sudah saatnya sastra pesantren tentunya juga proses berkesenian di
Indonesia untuk melaju kencang demi masa depan pesantren secara khusus dan
Indonesia secara umum. Suatu hal yang tidak dapat di tawar dari kehidupan
berkesenian Indonesia saat ini, ia adalah konsistensi antara penulis dengan
pembaca benar-benar terlibat aktif.
Bukan sekedar
wacana kosong ketika manusia di hadapkan pada suasana bathin yang
menggelisahkan, mereka seperti berlari mengejar seluruh yang luruh untuk
menempuh kehidupan yang di impikan. Hal ini jelas sekali ketika manusia seolah
hidup tanpa bayangan dan patokan. Pastilah sastra sebagai ujung tombak untuk di
jadikan media berkelanjutan demi ketenteraman dan kenyamanan diri.
Banyak kalangan
yang mudah terpeleset pada anggapan dan meragukan akan sastra, dimana sastra
hanya di yakini sebagai sesuatu yang secara nyata membungkam diri dari
kenyataan. Artinya selama ini sastra tidak memberikan sumbangsih apa-apa pada
kehidupan. Padahal kalau kita mau menyadari, sebenarnya sastra akan membawa kita
kepada sebuah kebenaran yang melampaui batas.
Ilmu humaniora
bukan saja bergelut pada dunia dirinya saja, tetapi ia sebagai ilmu terapan di tuntut mampu untuk menjawab
segala lini persoalan zaman yang semakin menbisu sekaligus membius diri menjadi
yang tak berarti. Kehidupan yang di motori kapitalis, libealis, dan
kontradiktif selalu di benturkan pada kehidupan ruh manusia sebagai makhluk
dinamis. Maka, sudah saatnya sastra memposisikan diri sebagai mediator utama
untuk meberikan klarifikasi terhadap pandangan miring(sift paradigm).
Anggapan tidak
sehat yang semacam ini akan membawa dampak kepada khazanah keber susastraan
Indonesia mutakhir ini. Dimana setiap jejak langkah kehidupan berbangsa dan
bernegara akan memulainya dengan metodologi perenungan. Tetapi bukan berarti
merenung adalah bermimpi tanpa ada hasil yang akan di peroleh. Haruslah kiranya
untuk di percayai sastra akan benar-benar menjadi obat terapi bagi siapapun
yang ragu dengan substansi dan ke antikan dari sebuah karya sastra.
Pada ranah yang
lebih luas lagi, kehidupan para ilmuan, sastrawan, teatrikawan dan orang-orang
yang di anggap mempunyai taring di lingkungan sekitarnya. Bila di tilik kembali
pada sejarah asal muasal dan latar belakang mereka. Akan menemukan kepastian
ketika di Tanya mestilah mereka akan segera menjawab bahwa ia menyukai karya
sastra.
Karya sastra
sirat dengan dialek pengucap khasnya, bebas dari bentuk-bentuk diskriminasi dan
perpeloncoan. Karya ini cenderung membawa pembacanya kepada dunia imajinasi
dimana ia lahir dan di besarkan dari sebuah proses perenungan lebih jauh.
Inilah hal tersulit(penulis katakan) bagi penulis yang mencoba mengupas hal
semacam ini kaitannya dengan dunia imajinasi dan dunia puisi. Kalau boleh
jujur, penulis akan mengatakan bahwa -saya yang saat ini berposisi sebagai
penulis- menulis sejatinya adalah mengekspresikan diri dari sebuah kegelisahan
dan pergulatan bathin seorang penulis.
Adalah tugas
dan tanggung jawab kita sebagai mahasiswa, hari ini di tuntut untuk resmi dan
benar-benar wajib bagaimana kemudian mengembangkan khazanah sastra pesantren
lebih-lebih khazanah sastra Indonesia mutakhir. Mengenang istilah penyair, sastrawan
dan penggiat seni adalah hal yang musti untuk kita apresiasi bersama.
Bangkitnya kehidupan sastra pesantren tidak akan pernah lepas dari peran dan
partisipasi rakyat sebagai bagian dari berkesenian. Hal serupa mengenai dunia
pesantren dan sastra sebagai kebudayaan kekayaan masa depan adalah hal pasti
yang tak pernah lepas dari peran serta masyarakat. Maka dari ini jelas bahwa
masyarakat perlu kiranya untuk di libatkan dalam sebuah pergulatan kesenian dan
kesusastraan baik sastra pesantren maupun sastra Indonesia secara umum.
Relevansi dan
konsistensi antara si pengarang dalam hal ini penyair dengan pembaca sebagai
sesuatu yang perlu untuk di jadikan bahan perbincangan dan diskusi bersama
kaitannya dengan perkembangan dan kemajuan sastra pesantren maupun non
pesantren. Perlu sedikit di katakan, saat ini dunia dan sastra pesantren hampir
bisa di pastikan sebagai tolak ukur khazanah pergulatan seni dan sastra tanah
air. Taruhlah contoh dalam hal ini adalah An-nuqayah sebagai lembaga pendidikan
alternative. Pesantren sering terlibat dalam forum-forum dan pertemuan
nasional. Hal ini akan segera menjadi tanda dan bukti bahwa pesantren mempunyai
peran signifikan terhadap perkembangan sastra Indonesia.
Sebagai orang
yang pernah hidup di dunia pesantren dan mengalami hidup pahit-manis penuh
perjuangan. Barangkali menjadi wajar ketika pembaca di hadapkan pada tulisan
amburadul tetapi yang jelas ini semua mempunyai maksud dan tujuan
masing-masing. Harapan murni dari penulis adalah kritik konstruktif demi
kedewasaan dan masa depan penulis sebagai pemula menceburkan diri di dunia
jurnalis. Kembali pada awal dan asal muasal dari tulisan ini adalah menggerutui
tentang pergulatan sastra sebagai medium kesehatan adalah hal pasti yang
semestinya di perjuangkan demi cerahnya masa depan khazanah dan kebudayaan
sastra pesantren lebih-lebih pergolakan sastra Indonesia secara umum. Ini yang perlu
untuk kita beri dukungan penuh agar kegiatan berkesenian tidak hanya berjalan
di tempat. Selamat mengkritisi!.
Bangkalan, 09
september 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar