Minggu, 29 September 2013

Menulis Di Antara Dua Peradaban (sebuah catatan akan masa depan islam dan kebangkitannya di indonesia)



Pada suatu hari saya mampir ke sebuah warung kopi sekitar satu kilo meter dari rumah tempat tinggal saya, dimana tempat itu merupakan tempat yang sangat strategis untuk masyarakat  dalam melihat pergumulan dan perbincangan orang-orang-(entah itu orang biasa maupun kaum blater)-ngumpul bersama membicarakan soal keimanan, kemanusiaan dan sosial-budaya hingga sampai kepada  pernak pernik realitas masyarakat kita dekade terakhir ini. Dimana pergulatan sejarah peradaban manusia pertama kali dimulai adalah ketika perintah iqro` turun kepada semua manusia melalui perantara malaikat jibril dan nabi muhammad. Dari itu semua saya menyadari bahwa pada zaman aspirasi derivasi universal ini kita harus mereka ulang sejarah yang sempat di torehkan umat islam 16 abad yang lalu, dimana peradaban kita saat itu mengalami perkembangan yang cukup pesat hingga ke seluruh pelosok dunia,  itu semua karena dilandasi dengan kesadaran membaca dan menulis. Pada satu pihak kita dituntut untuk selalu membaca tanpa henti, pada satu pihak yang lain kita membaca karena dua tuntutan; tuntutan pertama adalah karena perintah tuhan dalam hal ini adalah totalitas kokoh tak tertandingi yaitu ALLAH SWT, kemudian tuntutan yang kedua adalah karena tuntutan peradaban dimana peradaban saat ini merupakan icon penting dalam mengarungi kehidupan. Tuhan, agama dan peradaban adalah tiga dimensi tak terpisahkan. Karena ketiga aspek tersebut merupakan kunci dari seluruh aktivitas dan kinerja manusia tanpa terkecuali. Dari semua itu marilah kita buka kesempatan untuk berekspresi demi sumbangan kita terhadap masa depan bangsa. Leh karena kita saat ini sadar akan semua apa yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban kita nanti sekarang adalah saat saat yang cocok bagi kaum muslimin untuk kemudian bagaimana kita sebagai agent of social control dan agent of change benar benar mampu menampung segala bentuk aforisma hidup yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat tempat kita tinggal.
            Dalam bukunya; Islam Doktrin Dan Peradaban Cak Nur mengutarakan pandangannya secara gamblang bahwa kita umat islam indonesia harus mampu mengulang sejarah peradabannya yang sempat berada pada posisi yang lebih strategis, walaupun sebenarnya kita tidak akan pernah lepas dari sebutan dan pen-dikotomi-an yang barangkali ini adalah sebuah kebiasan masyarakat kita dalam meng-ekspresi-kan dimensi egonya. Kita saat ini mempunyai banyak macam sebutan yang diantaranya adalah islam puritan, islam abangan, islam normatif. Islam historis. Dan banyak yang lain yang barangkali tidak semuanya penulis sebut pada tulisan yang sangat terbatas ini. Selama ini ada semacam statemen apik yang cukup biasa terdengar di gendang telinga kita bahwa islam kita saat ini mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Ini semua sebenarnya tidak lepas dari sejarah kita akan masa lalu yang sampai saat ini kita terpengaruh oleh doktrin-doktrin lama yang cenderung memasung hak dan kreativitas kita untuk kemudian bagaiman kita tahu bahwa realitas teks akan memberikan jalan solutif historis tersendiri bagi diri kita sendiri, ini tanpa menghakimi mana yang salah dan mana benar.
            Sejenak kita kembali kepada persoalan membaca dan menulis yang menjadi pokok bahasan utama dalam tulisan ini, kita sadar dan tahu bahwa menulis itu sebenarnya persoalan kita sehari-hari kita dimana setiap kejadian yang kita saksikan hari ini adalah segalanya yang sempat lepas dari waktu dan pada akhirnya juga akan lepas kembali kepada waktu. batu-batu yang hancur berantakan, pohon pohon yang termakan usia, daun daun yang gugur bersama angin malam hingga kepada sekelumit dan secuil akar dari semua yang hidup hari ini. itu semua sebenarnya tidak henti hentinya dan takkan pernah lepas dari kajian alam dan proses pembacaan manusia atas semua yang hidup, atas semua yang beraktivitas dan semua yang sempat terlintas di benak para durjana cinta.
            Sebelum islam datang sebagai agama penyelamat seluruh manusia(rahmatan lil `alamin)dari segala mitologi dan kebohongan serta dari segala ancaman kitab suci yang sudah mengalami pengubahan dari orang orang yang bertujuan buruk untuk menyesatkan manusia ke jalan yang hina, peradaban saat itu menjadi suram lantaran tidak ada nurul islam Sebagai Penerang Roda Perjalanan Hidup Manusia. Setelah itu islam datang sebagai rahmatan lil `alamin yang meluruskan segala jalan yang bengkok menjadi lurus, hal ini menjadi tanda penting akan makna islam sebagai agama universal dan sampai saat ini masih relevan dengan kondisi zaman yang semakin hari semakin suram oleh peradaban barat yang hampir dua abad terakhir menggantikan posisi islam pada poros dan tempat yang paling strategis. sebagaimana yang di khawatirkan oleh Ernest Gellner seperti yang di kutip oleh Cak Nur dalam salah satu bukunya bahwa islam di mungkinkan untuk kembali bangkit sebagai pelopor peradaban karena ia mendukung terhadap ilmu pengetahuan, dengan adanya globalisasi dan modernisasi yang di rintis oleh barat akhir akhir ini akan berfaidah positif terhadap islam itu sendiri dan iapun akan dinikmati oleh orang islam itu sendiri. Sebagai sebuaah interpretasi yang barangkali selama ini masih rabun untuk kita tafsir sebagai sebuah analogi awal bahwa kita sebenarnya akan  menuai makna, hakikat dan faedah dari semua yang terjadi selama ini. sebuah perpustakaan terlengkap pada masa masa awal kejayaan islam sudah di babat di bakar habis-habisan oleh orang orang kristen Fundamentalis padahal sebenarnya perpustakaan itu merupakan pencetak para ilmuwan jenius awal dan akhir abad ini. sejarah telah mencatat adanya sebuah kemenangan islam setelah islam saat itu gencar gencarnya di syiarkan oleh orang persia, arab, china, jepang dan gujarat yang datang ke indonesia melalui perdagangan, perkawinan dengan wanita pribumi serta kesenian. kita lihat saja para tokoh islam mulai dari imam nawawi, muhammad iqbal, muhammad abduh, K.H. Hasyim Asy`Ari, dan banyak lagi yang tak sempat penulis sebut satu persatu karena ruang ini sangat terbatas. Tetapi setidaknya kita sadar dan menyadari bahwa peradaban ada karena adanya aktivitas dan kesadaran membaca dari diri kita sendiri termasuk umat islam secara universal. Hal ini sebenarnya persoalan besar yang harus kita taklukkan sebagai langkah awal untuk menuju kembali kepada peradaban yang sempat jaya pada masa nabi dan setelahnya. Tulisan ini sebenarnya tidak ingin memanas-manasi para kaum muslimin untuk kembali bangkit ke arah semula. Dan ini memang berangkat dari realitas sosia yang memang pada kenyataannya benar adanya, realitas makna dan realitas konteks. Fakta yang di lukis sejarah telah menjadi bukti bahwa semua yang terjadi akan dinikmati hasilnya oleh umat islam sendiri.
            Atas nama pelaku sejarah yang ingin tahu makna dari semua yang terjadi di masa lampau penulis ingin sekali untuk selalu memberi semacam wacana lokal atau bahkan wacana global yang sempat menjadi bahan perbincangan kita abad 21 ini, maka dari itu selayaknya menjadi pertimbangan bagi penulis untuk memahami secara menyeluruh apa sebenarnya yang terjadi pada abad kita kok tiba-tiba ada begitu banyak macam persoalan hidup yang melanda kita akhir-akhir ini. Islam sepertinya mengalami dekadensi dan degradasi sehingga ketika -indonesia yang mayoritas warganya penganut agama islam-  melalui pertimbangan dengan jepang yang merupakan negara non muslim ternyata ia mampu mendongkrak segala kedok masa lampau untuk masyakatnya di masa akan datang sehingga saat ini jepang mampu bersaing di ranah persaingan global.
            Barangkali ada yang salah dengan cara berislamnya kita akhir-akhir ini?.
            Sekiranya benar apa yang di sampaikan oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya; islam doktrin dan peradaban. Bahwa tak satupun negara maju yang kebanyakan penduduknya adalah penganut islam, tetapi sebaliknya seperti amerika, israel yang merupakan negara non muslim ternyata ia berhasil menjadikan negaranya sebagai leader bukan malah follower seperti indonesia saat ini. Lalu yang selalu menjadi pertanyaan apanya yang salah?
            Ketika aktivitas gerakan dan gebrakan liberasi, sekularisasi dan liberalisasi merasuk ke dunia santri lebih lebih kepada dunia islam. Maka, pada saat itulah kemudian segala macam persoaln kontroversial muncul ke permukaan sebagai akibat yang di timbulkan oleh berbagai kegiatan di maksud di atas. Menyikapi kegiatan berfikir generasi NU akhir-akhir ini- yang menurut kebanyakan orang sudah menyimpang dari khittah ke-NU-annya- maka Gus Mus mengakui hal tersebut tetapi kemudian beliau tidak khawatir dengan tindak dan gerakan berfikir bebas mereka. Yang menjadi perhatian dan kekhawatiran beliau adalah generasi NU mengalami kemandekan berfikir dan hanya jalan di tempat.
            Tidak heran jika kemudian Ahmad Wahib- pemikir muda sekaligus pembaharu islam kontroversial indonesia- dalam kumpulan tulisannya bertanya tentang kegelisahannya yang ia alami dalam setiap lini kehidupannya. Salah satu penulis kutip dari buku kumpulan biografi Aktivis Aktivis indonesia mulai dari sejak orde lama sampai orde baru. “Tuhan, bisakah aku menerima hukum hukummu tanpa meragukannya terlebih dahulu?.. murkakah engkau bila aku berbicara denganmu dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak yang engkau sendiri telah berikan padaku dengan kemampuan-kemampuan bebasnya sekali?” begitu kata beliau dalam tulisannya. meski kontroversial, ia telah menjadi mainstream pemikiran modernisasi islam di indonesia hingga sekarang.
            Kesadaran membaca(iqra`) dan menulis(Al-kitabah) menjadi arti penting dalam menyongsong masa depan gemilang, hal ini dapat kita bercermin pada logika sederhana bahwa hidup tanpa di imbangi dengan semua itu hanya akan menjadikan kita budak di zaman keterbukaan publik dewasa ini.
            Dari berbagai pemikiran yang di lontarkan oleh beberapa pemikir kita sudah menjadi bukti bahwa generasi kita akhir-akhir ini cukup memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan dan proses modernisasi islam yang katanya sudah mengalami banyak dilema persoalan akut yang sampai-sampai kepda tindak anarkis dengan dasar kesenjangan dan konflik sosial atas nama agama.
            Atas nama insan akademis penulis sadar bahwa sebenarnya arti penting dari kehidupan adalah bagaimana kita menjadi hamba ALLAH yang benar benar mengabdi dengan penuh rela tanpa iming-iming apa-apa.
            Kemudian pesan yang ingin penulis sampaikan kepada pembaca sebelum mengakhirinya adalah kita–kita yang mahasiswa termasuk yang calon mahasiswa menjadi wajib untuk selalu membaca dan menulis tanpa henti.wallahu a`lamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar